Selasa, 20 Januari 2015

PROSES PENCIPTAAN ALAM SEMESTA MENURUT AL-QUR'AN



Membahas mengenai asal muasal alam semesta selalu dapat menjadi topik yang menarik karena disinilah kesesuaian antara agama dan ilmu pengetahuan di uji. Agama mungkin menyatakan, akan tetapi ilmu pengetahuan yang akan membuktikan. Setiap kitab suci mungkin menceritakan mengenai bagaimana penciptaan alam semesta, karena dari penciptaan alam semesta itulah semua yang berada di alam “fana” ini bermula, baik dimensi ruang maupun waktu.

Ilmu pengetahuan saat ini sendiri belum dapat sepenuhnya mengungkapkan seluruh proses penciptaan alam semesta dengan bukti-bukti ilmiah, akan tetapi sudah banyak data mengenai alam semesta ini yang diyakini kebenarannya disertai dengan bukti-bukti secara ilmiah, seperti awal keberadaan alam semesta yang berasal dari ledakan besar (big bang), kemudian umur bumi, matahari, bulan, dan bintang-bintang pun telah dapat ditentukan dengan ilmu pengetahuan saat ini.

Al-Qur’an, dalam hal ini, memuat banyak ayat mengenai penciptaan langit dan bumi. Disini Al-Qur’an, sebagaimana pula kitab suci lainnya yang diklaimkan berasal dari Tuhan Yang Maha Sempurna dan Maha Tahu, harus mau “mempertaruhkan” dan mempertanggung-jawabkan kebenarannya mengenai penciptaan alam semesta dengan cara membandingkannya menggunakan data-data ilmu pengetahuan saat ini.

Enam hari, delapan hari atau 13.5 milyar tahun ?

Salah satu perbedaan besar antara data ilmu pengetahuan dengan kitab-kitab agama adalah masalah waktu penciptaan. Di mana data ilmu pengetahuan menunjukkan alam semesta tercipta 13,5 milyar tahun yang lalu dan bumi tercipta 4,5 milyar tahun yang lalu, kitab-kitab agama merujuk penciptaan alam semesta dalam hitungan hari, termasuk pula dalam hal ini Al-Qur’an.

Al-Qur’an menggunakan kata “ayyam” dalam menerangkan penciptaan langit dan bumi. “sittati ayyam” berarti enam hari, digunakan dalam 7 ayat Al-Qur’an berikut :

[7:54] Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari (masa), lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy …

[10:3] Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari (masa), kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan…

[11:7] Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari (masa)…

[25:59] Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam hari (masa), kemudian dia bersemayam di atas ‘Arsy …

[32:4] Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam hari (masa), kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy …

[50:38] Dan sesungguhnya telah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam hari (masa), dan Kami sedikitpun tidak ditimpa keletihan…

[57:4] Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari (masa), kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy …

Ketika dihadapkan dengan fakta-fakta yang ada, 6 hari dibandingkan milyaran tahun, maka apakah Al-Qur’an dalam hal ini salah ? “Imani saja, wahyu selalu lebih benar daripada ilmu. Belum tentu ilmu pengetahuan benar” mungkin bisa dijadikan alasan bagi sebagian orang yang mengedepankan wahyu. “Al-Quran memang tidak ditujukan sebagai kitab ilmu pengetahuan, tetapi sebagai kitab petunjuk hidup“, adalah jawaban lain yang sering kita dengar. Ya, memang benar ilmu pengetahuan belum mengungkapkan keseluruhan proses penciptaan, tapi sudah dapat mengungkapkan umur alam semesta dan umur bumi, matahari dan bulan, yang tentu saja berselisih tidak dalam hitungan hari. Jadi, apakah Al-Qur’an dalam ini salah ?

Untungnya, Al-Qur’an memberikan petunjuk, mengindikasikan bahwa “ayyam” (jamak) atau “yaum” (tunggal) apabila disebutkan dalam Al-Qur’an tidak harus berarti 24 jam.

[70:4] Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun

[32:5] Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadaNya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu

Dalam hal ini Al-Qur’an menyatakan, dalam kaitannya dengan “langit dan bumi” (baca : alam semesta), satu hari bisa berarti berapapun menurut perhitungan kita. Oleh sebab itu, “ayyam” pada “sittati ayyam” dapat di terjemahkan sebagai “enam periode” atau “enam masa”, wallahu a’lam.

Salah satu penjelasan yang ditawarkan mengenai berapakah lama sebenarnya satu hari penciptaan menurut Al-Qur’an telah diuraikan di dalam postingan “UMUR BUMI MENURUT AL-QUR'AN DAN ALKITAB"

Mengapa Al-Qur’an tidak langsung mengatakan “langit dan bumi di ciptakan dalam enam hari, yang sehari kadarnya sama dengan dua milyar tahun menurut perhitunganmu”, misalnya ?

Pertama, penulis sendiri tidak yakin kata “milyar” sudah dikenal pada jaman Nabi Muhammad dimana Al-Qur’an diturunkan.

Kedua, Allah membiarkan manusia yang menemukan sendiri satu hari yang disebutkan itu kadarnya berapa tahun, sebagai bagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya. Adapun lamanya tiap masa dalam enam masa tersebut, bisa saja tidak sama satu sama lain, dimana tiap masa dibandingkan dengan masa yang lain lamanya menurut perhitungan manusia di bumi dapat berbeda-beda, ataupun dapat pula sama akan tetapi relatif dari mana pengamatan “masa” atau “waktu” tersebut dilakukan, wallahu a’lam. Yang pasti, “masa” atau “hari” disini tidak berarti 24 jam waktu bumi.

Masalah lain timbul dan menjadi pertanyaan ketika seseorang membaca surah Fushshilat ayat 9-12 :

[41:9] Katakanlah: “Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagiNya? (Yang bersifat) demikian itu adalah Rabb semesta alam”

[41:10] Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.

[41:11] Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa”. Keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati”.

[41:12] Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.

Keempat ayat di atas menceritakan mengenai penciptaan langit dan bumi dalam delapan masa. Dua masa penciptaan bumi, empat masa pemberkahan bumi, dua masa penciptaan langit. Dua ditambah empat ditambah dua sama dengan delapan. Sementara di tujuh ayat lain Allah menerangkan bahwa Dia menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, di surah Fushhilat 9-12 ini Allah mengatakan prosesnya adalah dua tambah empat tambah dua. Apakah Al-Qur’an salah ?

Kuncinya adalah pada ayat ke sepuluh surah Fushhilat di atas. Terjemahan kata per kata dari ayat ke-10 tersebut adalah :

“Dan dia meletakkan baginya gunung-gunung yang kokoh di atasnya, dan Dia memberkahinya, dan menetapkan baginya rezekinya, dalam empat masa total, bagi mereka yang bertanya“.

Perhatikan kata total yang merupakan terjemahan dari “sawa-an”. “sawa-an” dalam bahasa arab berarti “menyamakan”, “sama dengan (equal)” , “total”, atau “keseluruhan”. Orang yang hanya berpatokan pada terjemahan mungkin akan merasa bingung, akan tetapi Al-Qur’an dengan jelas mengatakan bahwa empat masa itu adalah totalnya.

Penggunaan kata “sawa-an” dalam Al-Qur’an mengindikasikan bahwa proses pemberkahan dan pemberian rezeki bagi bumi memakan waktu dua masa, yang apabila digabung dengan penciptaan bumi dari awal, total keseluruhannya adalah empat masa. Juga mengindikasikan bahwa, karena itu total, belum berarti berurutan. proses penciptaan bumi dan pemberkahannya dalam empat hari belum tentu berurutan. Merupakan satu paket, ya, tapi belum tentu satu paket tersebut dalam waktu yang berurutan, karena Fushshilat ayat 9-10 disini sebetulnya berfokus pada penciptaan bumi dalam yang disebutkan di ayat ke-9. Jadi tidak ada pertentangan di sini. Semuanya tetap mengacu kepada enam masa penciptaan.

Langit atau bumi yang terlebih dahulu diciptakan ?

Beberapa orang meyakini apa yang dikatakan Al-Qur’an, mengatakan bahwa bumi-lah yang terlebih dahulu diciptakan daripada langit (berarti termasuk matahari, bulan, dan planet-planet), berdasarkan surah Fushshilat ayat 9-12 di atas.

“Telah jelas di dalam keempat ayat tersebut Allah mengatakan bahwa penciptaan langit terjadi sesudah penciptaan bumi”, begitulah argumen mereka, dengan menyertakan ayat lain yang mendukung :

[2:29] Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu, kemudian Dia berkehendak (menuju) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Sementara menurut data ilmu pengetahuan mengatakan bahwa matahari diciptakan 4.57 milyar tahun yang lalu, bumi 4.567 milyar tahun yang lalu, dan bulan 4.53 milyar tahun yang lalu. Bahkan alam semesta diperkirakan mulai tercipta 13.7 milyar tahun yang lalu. Berarti secara ilmu pengetahuan, langit diciptakan terlebih dahulu daripada bumi.
Jadi manakah yang benar, Al-Qur’an ataukah ilmu pengetahuan ?

Proses Pembentukan Alam Semesta

Segalanya berawal dari suatu ledakan besar (big bang), tidak diragukan lagi, begitulah pendapat mayoritas ilmuwan saat ini. Dari big bangsegalanya berawal, menurut mereka. Dan begitu pula yang disebutkan oleh Al-Qur’an tentang penciptaan, begitulah masa pertama penciptaan dimulai dengan suatu ledakan besar :

[21:30] Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya (fataqnahunna).

Fataqnahunna (Kami pisahkan mereka), berasal dari akar kata fataqa, yang artinya menurut Lane’s Lexicon Arabic-English adalah memisahkan (disjoined), mencerai beraikan (disunited), atau memisahkan dengan cara merusak strukturnya (unstitch).
Al-Anbiyaa (21) ayat 30 di atas, menerangkan bahwa langit dan bumi pada mulanya adalah sesuatu yg satu, satu entitas, tidak ada yang namanya langit dan tidak ada yang namanya bumi, masih merupakan suatu kesatuan. Entitas ini yang kemudian di fataqa, dipisahkan, yang mengakibatkan suatu ledakan besar (big bang).

Pertanyaan selanjutnya muncul : apakah yang kemudian dibentuk menurut Al-Qur’an ? Penciptaan langitkah, atau penciptaan bumi ?

Sebelum membahas itu, perlu diingatkan bahwa Al-Qur’an diturunkan pada masa dimana mayoritas penduduk bumi menganut paham geo-sentris, bumilah pusat alam semesta dan semuanya mengelilingi bumi. Bahkan hampir semua orang saat itu menganggap bahwa bumi itu datar.

Mengatakan bahwa langit diciptakan terlebih dahulu daripada bumi mungkin akan memperoleh banyak cemoohan. Bagaimana mungkin bumi yang menjadi pusat alam semesta di ciptakan setelah langit. Sepatutnyalah bumi sebagai pusat diciptakan terlebih dahulu sebelum langit, matahari, bulan, bintang dan yang lainnya, sebagaimana logikanya, fondasi sebuah bangunan harus diciptakan terlebih dahulu sebelum atap-atapnya.

Allah Maha Mengetahui dan Maha Benar, akan tetapi Allah menggunakan istilah yang dapat diterima pada masa itu, namun dapat dibuktikan kebenarannya di masa yang akan datangnya, wallahu a’lam. Perhatikan bahwa berbicara tentang penciptaan dalam enam masa, Allah selalu mengatakan “langit dan bumi”, bukan “bumi dan langit”. Surah Ath-Thaahaa (20) ayat 4 di sebutkan tentang “bumi dan langit” (dimana “bumi” disebut terlebih dahulu) tetapi bukan dalam kaitannya dengan penjelasan penciptaan dalam enam masa. Untuk surah Ath-Thaahaa ayat 4 ini akan ada pembahasan lebih lanjut di bawah. Seperti halnya Allah selalu mengatakan “malam dan siang”, bukan “siang dan malam”, karena malam lebih dulu ada daripada siang. Dan juga “matahari dan bulan”, bukan “bulan dan matahari”, karena matahari telah ada lebih dulu daripada bulan.

Perhatikan pula pada surah Fushhilat ayat 11 :

[41:11] Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa”. Keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati”.

Dalam memahami Al-Qur’an lebih jauh, selalu mengacu kepada redaksi aslinya. Terjemahan kata per kata dari ayat 11 ini adalah : “Kemudian (tsumma) Dia pergi menuju langit (samaa-i) dan dia berupa asap (hiya dukhaanun) …”

“tsumma” disini berarti kemudian, berfokus kepada ayat ke-9, yaitu setelah penciptaan bumi, bukan ayat-10 (setelah pemberkahan bumi). Di atas telah diuraikan bahwa penggunaan kata “sawa-an” (total/keseluruhan) dapat mengindikasikan sesuatu yang tidak berurut. Jadi ayat 10 menjelaskan ayat 9, dan ayat 11 melanjutkan ayat 9.

Perhatikan pula Allah menggunakan kata “samaa-i”, langit bentuk tunggal. “Kemudian Allah menuju langit (tunggal)”, menjelaskan bahwa pada saat itu langit sudah ada. Jadi, dalam rangka proses penciptaan bumi, termasuk di dalamnya adalah proses penciptaan langit pertama (yang pada saat itu belum disebutkan sebagai “langit pertama” atau “langit dunia” karena hanya ada satu lapis langit). Mengapa ? karena proses penciptaan langit pertama (galaksi-galaksi pertama, matahari dan sebagainya) ini sebelum bumi, sangat penting peranannya bagi penciptaan bumi itu sendiri, dalam menciptakan keseimbangan yang sempurna. Tetapi dijelaskan pula, pada saat bumi terbentuk, langit pertama itu sebagian besar masih merupakan asap (gas) yang panas. “Dukhaanun” merupakan bentuk indefinitif dari al-dukhn yang berarti “asap yang berasal dari api” dengan kata lain panas. Kata “gas” pada jaman Nabi Muhammad belum diketahui, sehingga Allah menggunakan kata dukhaan untuk menunjukkan sebagian besar alam semesta masih merupakan gas yang panas.

Di ayat ke dua belasnya Allah mengatakan :

[41:12] faqadahunna sab’a samaawaatin fi yaumayni …
“fadahunna” berarti “dan di lengkapi bagi mereka”. Mereka disini adalah “langit” (samaa-i) dan “bumi” (ardh-i). Berarti langit dan bumi saat itu sudah ada, akan tetapi Allah melengkapi bagi keduanya dengan menjadikan samaa-i menjadi sab’a samaawaatin.

Di ayat ke 12 ini juga Allah menerangkan bahwa di langit terdekat (samaa-i duniya) Allah memberikan lampu-lampu. Berarti dalam proses ini Allah memperbanyak pengadaan (menghias dengan) bintang-bintang dan benda-benda langit lainnya yang sebelumnya masih berupa gas yang panas. Bukan berarti sebelumnya tidak ada bintang, akan tetapi bintang-bintang di awal penciptaan tidak sebanyak setelah penciptaan sab’a samaawaatin, karena bintang-bintang di awal penciptaan berfokus untuk kepentingan penciptaan bumi, dimana sebagian besar benda langit masih berupa gas, termasuk juga bumi, telah di bentuk bulat akan tetapi masih berupa gas, wallahu a’lam.

[2:29] Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu, kemudian Dia berkehendak (menuju) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.

Dalam Al-Baqarah ayat 29 ini juga Allah mengatakan “tsumma istawaa’ ila as-samaa-i fasawwahunna sab’a samaawaatin” yang diartikan “kemudian Dia pergi menuju langit (samaa-i) dan dijadikannya tujuh langit (sab’a samaawaatin), berarti langit sebelumnya sudah ada, tetapi belum menjadi tujuh langit.

Jadi lebih tepat jika dikatakan bahwa ayat ini menerangkan bahwa Allah mengkondisikan bumi sehingga bumi beserta isinya nantinya dapat menjadi tempat yang mampu dihuni dan diolah oleh manusia. “Dialah Allah yang menciptakan apa-apa yang ada di bumi untuk kamu semuanya”, bukan berarti saat itu telah terbentuk semuanya di bumi, akan tetapi bumi pada awal penciptaan semuanya dirancang sedemikian rupa untuk mendukung kehidupan manusia, ukurannya, struktur inti buminya, elemen-elemen pembentuknya, semuanya dipersiapkan demi kepentingan manusia, yang akan memasuki masa pemberkahan.

Masa pemberkahan itu sendiri di jelaskan di ayat yang lain beserta dengan penjelasan proses-sebelumnya, yang merangkum keseluruhan proses penciptaan, yaitu di surah An-Naazi’aat ayat 27-32 :

[79:27] Apakah kamu lebih sulit penciptaanya ataukah langit (samaa-u)? Allah telah membangunnya
[79:28] Dia telah meninggikan bangunannya dan menyeimbangkannya
[79:29] Dia menggelapkan malamnya dan nenampakkan cahaya pagi-nya (dhuhaha)
[79:30] Dan bumi setelah itu di hamparkan-Nya (dahaha)
[79:31] Ia mengeluarkan daripadanya mata airnya, dan tumbuh-tumbuhannya.
[79:32] dan gunung-gunung, dikokohkan-Nya

Dari Surah An-Naazi’aat dapat kita lihat :

1. Ayat ke-27 menjelaskan mengenai penciptakan langit pertama dan bumi. Darimana kita tahu bahwa ayat ke-27 menjelaskan mengenai penciptaan bumi juga ? Ini kaitannya dengan ayat ke 29. Adanya malam dan siang terjadi setelah ada bumi. Jadi ayat ke-27 sebetulnya menyatakan dua masa penciptaan bumi yang disebutkan di surah Fushshilat ayat 9. “Allah telah membangunnya”. Sebagaimana Allah menyebutkan “langit pertama sudah terbentuk saat bumi terbentuk, karena terciptanya langit pertama sebelum bumi diperlukan dalam penciptaan bumi itu sendiri” secara tersirat di Q.S Fushshilat 9-12, di surah An-Naazi’aat ini pun secara tersirat Allah menyatakan bahwa “bumi pun terbentuk ketika langit pertama telah terbentuk”. Langit pertama adalah fondasi bagi pembentukan bumi, dan dimasa ini sebagian besar benda langit masih merupakan gas panas, termasuk pula matahari dan permukaan bumi.

2. Ayat ke-28 adalah proses penciptaan “sab’a samaawaatin”, dimana saat itu Allah meninggikan langit dengan cara menjadikannya menjadi tujuh langit, dan menyeimbangkan semua benda-benda langit sehingga tidak cenderung saling betubrukan dan semuanya berjalan dengan keseimbangan yang sempurna. Juga dengan “menghiasi langit dengan lampu-lampu” (baca : komet, meteor, bintang, dsb) sehingga memperkokoh keseimbangan langit. Tujuan penciptaan “lampu-lampu” ini tidak lain agar menjadi “tiang yang tidak terlihat” yang disebutkan Allah dalam surah Ar-Rad ayat 2 : “[Q.S 13:2] Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat…” .Proses ini masuk dalam dua masa penciptaan tujuh langit (sab’a samaawaatin). Termasuk pula di bagian akhir dua masa penciptaan tujuh langit ini (atau dapat pula di awal dua masa pemberkahan bumi, wallahu a’lam) ini matahari telah terbentuk menjadi sempurna.

3. Kemudian memasuki memasuki masa-masa awal dua masa proses pemberkahan bumi. Ayat ke-29 menjelaskan tentang penciptaan lapisan-lapisan Atmosfer. Dalam postingan “Benarkah Al-Qur’an berkata matahari tidak menyebabkan siang ?” sudah dijelaskan bahwa siang dan malam terjadi bukan karena adanya matahari, akan tetapi karena adanya atmosfir yang mengubah “dhiyaan” (sinar) matahari, menjadi “dhuhaa” (cahaya pagi), sehingga siang hari di bumi terang dan berwarna biru. Telah diketahui bahwa atmosfir bumi pun terdiri atas tujuh lapis. Dari sudut pandangan manusia di bumi, awan, atmosfir, matahari, bulan, bintang, semuanya berada di “langit”, sehingga terkadang Al-Qur’an menggunakan kata “dari langit kami turunkan air”, atau “rezeki dari langit“, atau “air dari langit“, karena semuanya berada dalam lingkup langit pertama.

4. Ayat ke-30 juga menjelaskan mengenai dua masa proses pemberkahan bumi. kata “dahaha”, sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam postingan “Bumi itu datar menurut Al-Qur’an ?“, berarti menggerakkan bumi sehingga menjadi terasa datar. Bukan berarti sebelumnya bumi tidak bergerak dan berputar, akan tetapi jika sebelumnya bumi masih berputar dengan sngat kencang dalam rangka memadatkan diri, dalam masa ini putaran dan pergerakannya disesuaikan sedemikian rupa sehingga bumi itu terasa datar bagi makhluk yang nantinya tinggal di permukaannya. Termasuk pada masa ini, batuan-batuan padat telah terbentuk dan pembentukan gunung pun telah dimulai pada masa ini.

5. Ayat ke-31 dan ke-32 masih merupakan kelanjutan penjelasan dari dua masa pemberkahan bumi, termasuk di dalamnya pengadaan air, pengadaan tumbuh-tumbuhan dan pengokohan gunung-gunung yang sbeelumnya telah mulai terbentuk, sehingga berfungsi sebagai pasak dan penyeimbang bagi bumi. Penyempurnaan pembentukan bulan pun terjadi pada dua masa pemberkahan bumi ini karena bulan dibutuhkan sebagai penyeimbang bumi dan berfungsi dalam mengatur ombak serta pasang surut air laut.

Dalam menerangkan penciptaan dalam enam masa, Allah menyebutkan langit terlebih dahulu daripada bumi dengan sebutan “samaawaati wal ardh” atau “langit dan bumi”, karena “sama-i” yang belakangan disempurnakan Allah menjadi “sab’a samaawaatin”, diciptakan lebih dahulu daripada bumi karena terkait untuk mendukung pembentukan bumi, walaupun “sab’a samaawaatin” diciptakan setelah pembentukan bumi. Hal ini menyebabkan secara umum “samaawaatin” (bukan “sab’a samaawaatin”) diciptakan lebih dulu daripada “ardh”.

Bagaimana dengan surah Ath-Thaahaa (20) ayat 4 yang berbunyi :

[20:4] yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi

Pertama, ayat ini tidak menjelaskan lamanya penciptaan, tetapi berupa penegasan bahwa Al-Quran di turunkan oleh sebagai peringatan bagi orang yang takut karena diturunkan dari Allah sang pencipta. Kedua, secara morfologi, ayat ini mengatakan “Allah yang menciptakan (1) bumi dan (2) langit yang tinggi (al-samaawati al-‘ula / highest heavens)”, bukan “bumi dan langit” (tanpa kata keterangan sebagaimana ayat-ayat yang lain). Pemberian kata keterangan “yang tinggi” (al-‘ula) untuk “langit” menjadi satu frasa “langit yang tinggi”, dan di sebut sesudah “bumi”, mengindikasikan bahwa peninggian langit memang terjadi sesudah penciptaan bumi, yaitu di dua masa penciptaan tujuh langit.

Lihatlah bagaimana Allah menggunakan bahasa yang dapat dimengerti dan diterima oleh orang-orang dijaman Nabi Muhammad, akan tetapi akan dapat dibuktikan kebenarannya oleh ilmu pengetahuan. Pembentukan alam semesta sendiri masih merupakan misteri bagi manusia, akan tetapi pernyataan Al-Qur’an mengenai penciptaan alam semesta tidak ada yang bertentangan dengan data ilmu pengetahuan saat ini, dan juga tidak akan bertentangan dengan data ilmu pengetahuan dimasa yang akan datang, insya Allah.

Dihapuskannya tanda malam, pembentukan bulan menurut Al-Qur’an

Allah berfirman dalam surah Al-Isra ayat 17 :

[17:12] Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. Dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas.

Ilmu pengetahuan membuktikan bahwa di awal pembentukan bulan, bulan memiliki lautan magma akibat dampak dari giant impact. Hal ini membuat bulan pada masa itu terang benderang. Dari buku “The magma ocean concept and lunar evolution” karangan Warren, P. H. (1985) disebutkan bahwa :
The newly formed Moon would also have had its own lunar magma ocean; estimates for its depth range from about 500 km to the entire radius of the Moon

Hal ini mengakibatkan dari sudut pandang bumi, bumi seolah-olah memiliki dua matahari. Akan tetapi Allah menghilangkan magma dari bulan yang saat itu menjadi tanda malam, sebagai proses “penghapusan tanda malam”. Kemudian Allah menyempurnakan lapisan atmosfir bumi yang membuat “tanda siang” menjadi lebih terang benderang, karena mampu menyaring cahaya matahari dan menyebarkannya di bumi sehingga siang menjadi berwarna biru dan terang. Salah satu tujuannya adalah “agar kamu mencari karunia Tuhanmu dan mengetahui bilangan tahun dan perhitungan”, yang akan sulit jika bumi memiliki “dua matahari”, karena manzilah-manzilah atau fasa-fasa bulan tidak terjadi jika bulan memiliki cahaya sendiri sebagaimana matahari.
Bentuk alam semesta

Dalam postingan yang berjudul “APAKAH BUMI ITU DATAR MENURUT AL-QUR'AN“, dijelaskan bahwa seperti halnya bumi, Al-Qur’an pun menyatakan bahwa langit memiliki banyak diameter (aqthar), yang mana mengacu kepada bentuk elipsoid, sebagaimana dinyatakan dalam surah Ar-Rahmaan ayat 33. Namun elipsoid alam semesta ini tidak seperti elipsoid bumi, akan tetapi suatu bentuk elipsoid yang sangat pipih relatif datar, seperti yang dikatakan dalam ayat berikut :

[51:47] Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya (lamuusi’uuna)

lamuusi’uuna berasal dari kata wasi’a yang berarti “terus menerus melapangkan/meluaskan”. Ilmu pengetahuan menyatakan bahwa jarak antar objek di alam semesta dalam hal ini antar-galaksi semakin lama semakin jauh dan berkembang, sehingga alam semesta menjadi semakin luas.

Menurut Big Bang model, alam semesta berkembang dari keadaan yang sangat padat dan panas menjadi keadaan seperti sekarang ini, dan akan terus meluas/berkembang. Rem B. Edward dalam paparenya yang berjudul “What Caused The Big Bang” menganalogikan perkembangan alam semesta ini ini dengan “. . like raisins in a rising loaf of bread, or dots on the surface of an inflating balloon.”

Disini alam semesta di analogikan seperti adonan roti kismis yang awalnya berbentuk adonan bulat padat, yang terus mengembang, dan jarak antar kismis-kismis nya pun semakin jauh. Hal ini membuat bentuk alam semesta yang bulat pipih menjadi semakin pipih, hampir datar, dengan meluasnya alam semesta, sehingga seolah-olah dapat “digulung” atau “dilipat” seperti yang dinyatakan Allah dalam firman-Nya :

[21:104] (Yaitu) pada hari Kami gulung (lipat/nathwii) langit seperti menggulung (melipat/kathayyi) lembaran – lembaran kertas.
Memipihnya alam semesta sehingga menjadi seperti “lembaran-lembaran kertas” diungkapkan Al-Qur’an.

Dikatakan oleh NASA bahwa :
The simplest version of the inflationary theory, an extension of the Big Bang theory, predicts that the density of the universe is very close to the critical density, and that the geometry of the universe is flat, like a sheet of paper. (http://map.gsfc.nasa.gov/universe/uni_shape.html)

Saat ini belum “equal to the critical density” akan tetapi “very close to the critical density” menyebabkan alam semesta semakin berbentuk bulat pipih/elipsoid relatif datar “seperti kertas”, hingga pada akhir nanti akan dapat “digulung/dilipat seperti menggulung/melipat lembaran-lembaran kertas” saat “less than the critical density”, wallahu a’lam.

Ada tidaknya udara di luar angkasa, sebuah pernyataan lain dalam Al-Qur’an

Allah berfirman dalam surah Al-An’aam ayat 125:

[6:125] Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.

Perhatikan pernyataan “niscaya Allah menjadikan dadanya sesak (dayyiqan) lagi sempit (harajaan) seperti halnya dia sedang mendaki menuju langit (samaa-i)”. Lihat bagaimana Allah menyatakan “jika kamu pergi menuju langit, maka semakin tinggi kamu pergi, akan semakin terasa sesak dan sempit dadamu”. Hal ini dikarenakan karena semakin jauh dari permukaan bumi, maka kadar oksigen semakin berkurang, sampai akhirnya tidak akan ada oksigen sama sekali. Hal ini menyebabkan dada sese orang akan terasa sesak dan sempit karena kesulitan bernafas.
Sesuatu yang sudah dinyatakan 15 abad yang lalu dan baru dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan saat ini, wallahu a’lam

Maha benar Allah dengan segala firman-Nya.

Tidak ada komentar: